Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu
dengan dua teman lama. Pertemuan saya yang pertama ditemani dengan salah
seorang sahabat lama yang bisa dikatakan belum lama menggunakan hijab.
Dari berbagai obrolan kami, akhirnya ia melontarkan satu pertanyaan. “Zu, lo sampe sekarang masih ada kepikiran buat buka jilbab engga?”. Saat itu saya cuma tersenyum sebelum memberikan jawaban.
Hampir sebulan setelahnya, saya bertemu
dengan salah satu sahabat saya yang saya kenal dari waktu dan tempat
yang berbeda dari sahabat saya yang sebelumnya. Dari berbagai topik
obrolan yang kami bicarakan, ada satu pertanyaan yang ia berikan. “Zu, lo nanti kalo udah di Inggris bakalan buka jilbab engga?” Dan kali ini saya bukan hanya tersenyum… tetapi tertawa.
Sangat mudah sebenarnya menjawab
pertanyaan yang sudah familiar di telinga saya, yang sudah dilontarkan
dari berbagai mulut yang berbeda. Sulit adalah ketika harus meyakinkan
orang lain tentang sesuatu hal yang saya sendiri aja baru bisa meyakini
diri saya setelah beberapa tahun menjalaninya.
Jadi engga salah sih kalau masih banyak
orang yang mempertanyakan keteguhan saya dalam memakai hijab ini,
hehehe. Sebelum diberikan pertanyaan -pertanyaan tersebut, sejujurnya
engga pernah terlintas lagi untuk membuka hijab, sekalipun nanti ketika
saya tinggal di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.
——————————————————–
Berawal dari sepuluh tahun yang lalu,
saat saya masih duduk di kelas 1 SMP. Saat itu seperti biasanya, setelah
les matematika dengan guru private saya, kami melakukan ritual yang
hampir selalu kami lakukan seusai les, yaitu sholat ashar berjamaah
dilanjutkan dengan obrolan ringan seputar agama. Hari itu, topik yang
diangkat oleh ibu guru adalah tentang kewajiban untuk menutup aurat bagi
perempuan. Intinya, dari pembicaraan itulah saya benar – benar bertekad
jika nanti saya sudah baligh (baca : menstruasi), saya akan langsung
menggunakan hijab.
Engga lama sejak pembicaraan kami di sore
itu, akhirnya sampailah waktu dimana saya sudah dinyatakan baligh.
Setelah membicarakan dengan orang tua dan meyakinkan diri saya kembali,
akhirnya beberapa minggu kemudian saya pun sudah menutup aurat
sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Awal saya memakai hijab ini engga
berjalan semudah yang saya bayangkan. Tekanan sempat terasa dari
berbagai pihak. Mulai dari orang tua saya yang sempat meragukan
keputusan saya dan khawatir jika suatu saat saya akan membuka kembali
hijab saya dikarenakan usia saya yang pada saat mengambil keputusan
tersebut masih sangat muda, yaitu sekitar 11 tahun.
Bukan hanya itu, tekanan juga terasa dari
teman – teman saya. Ada beberapa dari mereka yang mulai menjauh karena
saya menggunakan hijab, bahkan ada yang bilang kalau saya sok suci. Tapi
mungkin karena saat itu saya benar-benar udah yakin dan keputusan
memakai hijab juga sepenuhnya dari diri saya, jadi apapun pendapat orang
saat itu saya terima dengan “masuk telinga kanan keluar telinga kiri”
aja.
Setelah melewati masa transisi dari
sebelum ke setelah memakai hijab, dua tahun setelahnya saya lalui dengan
baik. Walaupun terkadang saat melihat teman-teman saya lainnya yang
belum memakai hijab, masih terlintas di pikiran saya bahwa mungkin
dengan engga memakai hijab bisa lebih menyenangkan dan bebas
berekspresi. Tetapi dengan cukup banyaknya teman saya yang menggunakan
hijab dan sempat berada di dalam lingkungan anak – anak rohis, pikiran
saya ini engga sampai membuat ingin melepas hijab ini.
Dari bertahun- tahun saya memakai hijab,
masa terberat yang saya lalui adalah selama saya duduk di kursi SMA.
Mulai dari minggu pertama masuk sampai minggu terakhir sekolah, sudah
enggak terhitung berapa kali saya ingin membuka hijab. Kenyataan yang
lebih parah adalah saya juga sempat merasa hijab yang saya kenakan saat
itu bahkan menjadi penghalang saya dalam bergaul dan benar- benar
menurunkan rasa percaya diri saya.
Sampai akhirnya pada suatu hari, ketika
saya seorang diri sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter di suatu
rumah sakit. Seperti biasanya, saat lagi melamunkan banyak hal,
sampailah saya memikirkan tentang rencana saya membuka hijab. Saat itu
saya membulatkan tekad untuk melepas hijab begitu saya mulai masuk
kuliah.
Engga lama setelah itu, sekitar sepuluh
menit kemudian, saat saya sedang mem-fotokopi hasil pemeriksaan dokter,
tiba-tiba tanpa adanya interaksi apapun sebelumnya, si penjual kacamata
di sebelah tempat fotokopi tersebut mengatakan hal yang mengubah total
pemikiran dan tekad saya sebelumnya. “Mbak, mbak udah cantik kaya gitu, pake jilbab..jangan dilepas ya mbak”,
katanya sambil tersenyum. Mungkin kalau sebelumnya saya engga memiliki
keinginan untuk melepas hijab saya, mungkin perkataan mas penjual
kacamata itu engga akan segitu membekasnya di ingatan saya.
Kejadian saat itu benar – benar
menyadarkan saya akan satu hal, yaitu Allah masih segitu sayangnya sama
saya. Kalau bisa diibaratkan, saat itu saya udah berada di ujung jurang,
dan saat itu juga Allah langsung memberikan cara untuk menyadarkan
saya. Bukan sekedar itu, tetapi memberikan hidayah-Nya. Makanya,
seandainya saya masih punya pemikiran untuk melepas hijab setelah
kejadian itu, kayanya saya akan menjadi manusia paling bodoh yang ada di
dunia ini.
Pikiran saya sih simpel aja, saya
mengenal banyak orang yang terlihat lebih baik dibanding saya, tapi
sampai saat ini belum memakai hijab. Itu hak mereka masing-masing dan
pastinya ada pemikiran tersendiri. Mungkin mereka ingin saat memakai
hijab nanti mereka benar-benar berperilaku seperti seorang muslimah yang
diajarkan oleh Islam.
Bagaimanapun orang memandang hijab, saya
yakin setiap orang punya cara dan pikirannya masing – masing. Satu
contoh sederhana adalah ketika kebanyakan orang belajar supaya bisa
“sempurna” baru kemudian mengenakan hijab, saya justru belajar banyak
dari hijab supaya bisa menjadi orang yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar