Perspektif hukum fiqih,
empat madzhab pokok ahlussunnah wal jama’ah(Hanafiyah, Hanabilah,
Malikiyah dan Syafi’iyah) konsesus(ittifaq) bahwa kontinuitas memakai
jilbab adalah elemen dari totalitas kewajiban(fardu a’in) bagi setiap
orang Islam, dan bukanlah merupakan syarat atau rukun ibadah puasa.[1]
Kecuali
aspek tasawwuf, sebagaimana opini Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya
ulumuddin -nya, untuk menuju kondisi kesempurnaan puasa(shaum
al-khusus),[2] di antaranya adalah mengurangi kemaksiatan, misalnya
menutup aurat badan(berjilbab) itu. QS. al-Nur/24: 31 dan al-Ahzab/33:
59, adalah ayat yang tegas menyatakan kontinuitas diwajibakannya
berjilbab, “tidak hanya pada waktu tertentu, misalnya hanya pada
bulan Ramadan saja”.
Maka semestinya, bagi komunitas berjilab, terutama yang hanya ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, tidak perlu lah mempublikasikankan diri di berbagai media masa. Karena asas kewajiban berjilbab : hanya karena menjalankan perintah Allah SWT (lilla-Hi ta’ala). Bukan untuk disanjung dan dipuja oleh fans club -nya.
Utamanya dalam kondisi beribadah puasa ini, harus menjauhkan diri dari virus ria dan sum’ah(mencari sanjungan dan popularitas dalam beribadah). Kalau hal tersebut bisa diterapkan, tentunya(insya Alloh) akan bisa mengusung Muslimah menuju kesempurnaan berjilbab.
Beda halnya yang ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, mengeluarkan biaya ekstra mengontrak berbagai media masa, untuk mempublikasikan "jilbabnya".
Jelas, “jilbab –isme” yang demikian terkesan penuh kepentingan. Atau paling “ikhlasnya” hanya dianggap mode berpakaian sebagai intermeso (hedonisme-nya).
Realitasnya dapat diyakini, sesuai kebiasaan dan profesi aslinya, ketika telah lewat hari raya Idul Fitri yang semestinya hari awal kembalinya fitrah(kesucian manusia), mereka pun kembali berlomba memamerkan aurat badan, sesuai inisiatif produser film yang diperankan dan menguntungkannya. Bukan malah menjaga ke-fitrahan-nya itu !
Mungkin bagi sebagian orang, “Jilbab Musiman” dengan sarat kepentingan itu, lebih baik daripada kontinu seumur hidup beryukensi plus rok mini. Akan tetapi, sesuai kewajiban syar’i(agama), nalar dan naluri manusiawi. Betapa indah dan rapinya, jika jilbab itu, kontinu(istiqomah) dipakai sepanjang masa, tidak hanya setiap bulan Ramadan saja ? Sehingga dengan kontinuitas “berkain” jilbab itu, mudah-mudahan tidak hanya badannya saja yang selalu ditutupi “kain” jilbab, tapi juga menyebabkan akhlaknya akan benar-benar turut berjilbab. Tidak seperti fenomena ironis yang telah kronis menjangkit selama ini, di antara resikonya banyak orang berceletuk menyayat hati kita “jilbab hanya kedok kemunafikan belaka”.
Firman Allah SWT, QS. al-Baqoroh ayat 183, menurut para ulama tafsir, di antaranya Syeikh al-Chozin(w 725. H), cakupan ayat tersebut menyatakan, “puasa adalah sarana bagi manusia(beriman) untuk bisa mengusung diri menjadi bagian dari golongan orang-orang yang bertakwa(la’allakum tattaqun)”.[3] Kadar ketakwaan tersebut, tidak terbatas konteks jilbab, tapi totalitas berbagai elemen dan aspek religius.
Ya ! Semoga dengan berkah bulan suci Ramadan ini, berawal dari berkibarnya simbolis “Jilbab-isme Musiman” itu, akan tercipta milyaran jilbab yang benar-benar jilbab, murni atas amaliah agama. Tidak mencampakkan jilbab ketika bulan Ramadan usai. Apakah ilmiah, realistis dan logis ?
bulan Ramadan saja”.
Maka semestinya, bagi komunitas berjilab, terutama yang hanya ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, tidak perlu lah mempublikasikankan diri di berbagai media masa. Karena asas kewajiban berjilbab : hanya karena menjalankan perintah Allah SWT (lilla-Hi ta’ala). Bukan untuk disanjung dan dipuja oleh fans club -nya.
Utamanya dalam kondisi beribadah puasa ini, harus menjauhkan diri dari virus ria dan sum’ah(mencari sanjungan dan popularitas dalam beribadah). Kalau hal tersebut bisa diterapkan, tentunya(insya Alloh) akan bisa mengusung Muslimah menuju kesempurnaan berjilbab.
Beda halnya yang ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, mengeluarkan biaya ekstra mengontrak berbagai media masa, untuk mempublikasikan "jilbabnya".
Jelas, “jilbab –isme” yang demikian terkesan penuh kepentingan. Atau paling “ikhlasnya” hanya dianggap mode berpakaian sebagai intermeso (hedonisme-nya).
Realitasnya dapat diyakini, sesuai kebiasaan dan profesi aslinya, ketika telah lewat hari raya Idul Fitri yang semestinya hari awal kembalinya fitrah(kesucian manusia), mereka pun kembali berlomba memamerkan aurat badan, sesuai inisiatif produser film yang diperankan dan menguntungkannya. Bukan malah menjaga ke-fitrahan-nya itu !
Mungkin bagi sebagian orang, “Jilbab Musiman” dengan sarat kepentingan itu, lebih baik daripada kontinu seumur hidup beryukensi plus rok mini. Akan tetapi, sesuai kewajiban syar’i(agama), nalar dan naluri manusiawi. Betapa indah dan rapinya, jika jilbab itu, kontinu(istiqomah) dipakai sepanjang masa, tidak hanya setiap bulan Ramadan saja ? Sehingga dengan kontinuitas “berkain” jilbab itu, mudah-mudahan tidak hanya badannya saja yang selalu ditutupi “kain” jilbab, tapi juga menyebabkan akhlaknya akan benar-benar turut berjilbab. Tidak seperti fenomena ironis yang telah kronis menjangkit selama ini, di antara resikonya banyak orang berceletuk menyayat hati kita “jilbab hanya kedok kemunafikan belaka”.
Firman Allah SWT, QS. al-Baqoroh ayat 183, menurut para ulama tafsir, di antaranya Syeikh al-Chozin(w 725. H), cakupan ayat tersebut menyatakan, “puasa adalah sarana bagi manusia(beriman) untuk bisa mengusung diri menjadi bagian dari golongan orang-orang yang bertakwa(la’allakum tattaqun)”.[3] Kadar ketakwaan tersebut, tidak terbatas konteks jilbab, tapi totalitas berbagai elemen dan aspek religius.
Ya ! Semoga dengan berkah bulan suci Ramadan ini, berawal dari berkibarnya simbolis “Jilbab-isme Musiman” itu, akan tercipta milyaran jilbab yang benar-benar jilbab, murni atas amaliah agama. Tidak mencampakkan jilbab ketika bulan Ramadan usai. Apakah ilmiah, realistis dan logis ?
*Nasrulloh
Afandi, Dewan Asatdiz PV. alumni pesantren Lirboyo Kediri, anggota
pembina pesantren Kedungwungu Krangkeng Indramayu; aktivis mahasiswa NU
di Marocco.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar